On this auction event collections, we present our latest timed-auction of Southeast Asian,Chinese, Modern and Contemporary Art from 24 May to 15 Jun 2023 (UTC+8)Bid... show more
Dullah merupakan salah satu Maestro Seni Rupa Indonesia, yang selalu konsisten dengan gaya realisme yang memiliki karakteristik sangat kuat khas Dullah. Pelukis kelahiran Solo, Jawa Tengah pada 17 September 1919 ini sangat dekat dengan karya-karya yang mengangkat unsur kerakyatan dan sangat menjunjung tinggi realitas dari sebuah objek. Walaupun pada masanya terjadi banyak sekali revolusi serta pengembangan gaya seni rupa yang lebih modern, namun Dullah tetap berkomitmen untuk tetap menjaga seni realisme agar tetap memiliki standard yang memukau.
Perjuangan tersebut menarik hati Soekarno yang dijumpainya pada tahun 1943 yang kemudian membuatnya semakin memiliki hubungan kedekatan dengan Soekarno serta jajaran pelukis Maestro lainnya. Kedekatan itu terus berkembang sampai pada sekitar tahun 1950, Bung Karno meminta Dullah secara khusus untuk menjadi pelukis Istana Kepresidenan Indonesia. Tawaran itu awalnya ditolak oleh Dullah, namun dengan bujukan dari rekan seniman lainnya seperti Sudjojono dan Affandi, Dullah akhirnya menerima permintaan tersebut dan pada tahun 1960 Dullah secara resmi diangkat menjadi Kepala Kesenian Istana Kepresidenan.
Dari kedekatan itu membuat Soekarno mempercayakan Dullah untuk mendokumentasikan semua barang seni yang dikoleksi Soekarno dan mencetaknya dalam buku 2 jilid berjudul LUKISAN-LUKISAN KOLEKSI IR. DR. SOEKARNO. Dan dari kedekatan mereka, Soekarno akhirnya mengirimkan surat kepada Le Mayeur yang pada saat itu sudah menetap di Bali, untuk dapat mengajarkan Dullah agar keseniannya dapat berkembang lebih jauh lagi.
Pada tahun 1970-an Dullah berangkat dan sempat menetap lama di Bali untuk mengembangkan kemampuan seni rupanya dibawah bimbingan Le Mayeur sejalan dengan perintah dari Bung Karno. Pada periode ini Dullah kerap menggambarkan objek-objek yang sangat khas dengan kebudayaan Bali seperti objek pura, pemandangan landscape Bali, aktivitas penduduk Bali, serta figur dan pertunjukan penari Bali. Saat berada di Bali, Dullah tidak hanya sebagai murid dari Le Mayeur tapi juga menjadi pengajar dan mendirikan Sanggar Pejeng untuk meneruskan kemampuan seni lukisnya pada murid-muridnya. Dullah juga kerap mengajak para muridnya untuk mengikuti pameran yang diadakan di Gedung Agung, dan pameran tersebut mendapatkan dukungan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Pada tahun 1979, Dullah kembali ke Jakarta dibarengi dengan keikutsertaannya pada ajang pameran di Aldiron Plaza. Kemudian Dullah memutuskan kembali ke kampung halamannya dan mendirikan Museum Dullah di tanah kelahirannya di Jalan Cipto Mangunkusumo nomor 15, Laweyan, Solo. Museum Dullah baru dibuka pada tahun 1988 dan disahkan oleh Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, Fuad Hassan.
Dullah menghembuskan nafas terakhirnya pada 1 Januari 1996 di usianya yang ke 75 tahun. Selama masa hidupnya Dullah terus berkembang dan mengabdi pada dunia seni rupa Indonesia. Nama Dullah menjadi salah satu contoh bukti sejarah, dari seniman yang telah berhasil menorehkan sejarah panjang perkembangan seni rupa Indonesia yang selalu kita kenang dengan kegigihannya mempertahankan idealisme realisme sampai akhir hayatnya.